Ramadhan, 2005.
Pagi itu dia tersenyum dan memandang penuh kekaguman, padahal mataku masih
mengerjap berusaha menyesuaikan dengan terangnya matahari yang menyelinap
lewat tubuhnya pagi ini. Aku malu-malu memandang dirinya. Mungkin saat itu
mataku masih sembab dan kotor. Seketika wajahku aku sembunyikan dibalik
selimut.
Orang bilang cinta ini terlarang, dan aku tahu mengenai hal itu.
Memandangnya dan menyadari bahwa ini SALAH.. Tapi siapa yang bisa memilih
harus jatuh cinta sama siapa ?
Aku tidak tahu mengapa ia lebih memilihku yang tak tahu segalanya tentang hidup indah.
Lebih memilihku untuk menghabiskan hari dibanding yang lain yang lebih
menarik, dewasa, berada, terpelajar dan memiliki tingkatan hidup yang sama
dengannya. Dan aku tak sanggup untuk menolak kehadiran dan tawaran dia
tentang hidup indah dan bagaimana rasanya dimiliki.
Hingga kemudian segalanya harus diakhiri. Hinaan, cercaan, sumpah serapah
dan kutukan yang terhambur dari bibir cantik berwarna merah itu aku biarkan.
Bahkan ketika raga ini dicabiknya dengan segala amarah, aku tetap tak
berusaha menghindari.
Dia hanya diam dengan semua itu, sinarnya juga tak memberi kehangatan
lagi. Diam dan diam. Diam.
Sejak hari itu matahari tak lagi bersamaku, dia bahkan menghindari
keberadaanku dihidupnya. Aku mengerti, aku sadar dan memaklumi keengganan
yang ditampilkannya.
Seminggu sebelum hari pernikahannya. Dia menemuiku. Mencegat langkah hujan
yang hampir menyentuh tanah. Kembali aku dapat memandangnya dengan dekat.
Dia tak menginginkan aku lagi. Dia ingin saat terindahnya tak hancur olehku.
Seketika hujan mencium tanah dengan kasarnya. Dia menyerahkan semua hal yang
pernah disentuh oleh jemariku. Kecuali dia.
Di dalam baja hitam itu aku hanya memandang. Ditemani bunyi halus didalamnya
yang menambah aroma hitam. Aku tahu saat ini akan tiba. Aku tahu akan
begini. Tapi aku berterima kasih padanya telah memberiku hidup.. dan untuk
sesaat aku memang merasa hidup... meski sesaat..
NQ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar